(bag 1) Tamu Misterius
Malam melayap sepi..
Bulan malu bersembunyi di peraduan..
Bintang menyepi di balik awan..
Kunang-kunang berlari..tampaknya enggan menari di
bawah sinar temaram..
Suara cengkerik hilang nada..
senyap..
Malam seakan hilang wajah..
Kututup daun jendela dan menuju tempat tidur. Kubaringkan
tubuh, rasa lelah yang sangat membuatku langsung terlelap dalam hitungan detik.
Baru saja kuterlelap ketika mendengar suara
gedoran di pintu depan rumah. Segera aku bangun dan duduk mempertegas suara
tadi. Terdengar kembali gedoran. Kali ini makin keras. Ada suara lirih..
Aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke luar
kamar. Kunyalakan lampu. Suara gedoran di pintu dan suara lirih semakin terdengar
jelas. Suara seorang lelaki. Semua anggota keluarga yang lain sedang menginap di
rumah salah satu kerabat di luar kota. Jadi, siapa? Malam-malam begini?..
Kusingkap tirai kaca depan. Tampak olehku seorang
lelaki yang sedang bersandar di kusen pintu.
Aku tak mengenalnya. Kupandang sekeliling dari
balik kaca..sekeliling tampak sepi..tak terlihat orang lagi, hanya lelaki itu.
Gedoran dan suara minta tolong kembali terdengar.
Dengan memberanikan diri, aku segera memutar anak kunci
dan membukakan pintu. Tampak lelaki itu kini telah rebah hampir tertelungkup di
depan pintu. Seketika aku terkejut dan langsung membungkuk.
‘Tolonggggg..sem..bunyi..kan..a..kuuu..mereka..me..reka..menge..jarku..tooolonggg..selamatkan aku,’ pinta
lelaki itu lirih. Matanya berurai air mata.
‘Duhhh..apa
yang harus kulakukan?..,’ batinku kebingungan. Lelaki asing..Bajunya koyak
sana-sini. Muka pucat, tubuhnya penuh
lebam. Ada darah yang keluar dari hidung dan di sudut bibirnya.
‘Cepatttt..merekaaaa..aaa..kann
se..geraaa ..datangggg..,’ ujarnya lirih terbata-bata.
Tanpa sempat berpikir lagi, kuangkat tubuh lelaki
itu. Kupapah dia masuk ke dalam rumah.
‘Di mana akan
kusembunyikan?’ pikirku lagi. Sambil terhuyung, kupapah dia memasuki kamar
belakang.
‘Diamlah dulu
di sini,’ kataku sambil mendudukannya
di tempat tidur.
‘Terima kasih,’
sahutnya pelan. ‘Tolong...ja..ngann
beritahu me..re..ka soal aku,’ sambungnya lagi berbisik. Air mata terus
terurai.
‘Baiklah..Biar
kuambilkan segelas air hangat,’ kataku.
Wajahnya pucat, sekitar matanya lebam biru. Bibir
dan hidungnya mengeluarkan darah. Tubuhnya bergetar, menggigil kedinginan.
Aku ke luar kamar menuju dapur ketika kudengar
derap ramai kaki kuda mendekati rumah. Derap kaki kuda itu kemudian
terdengar berhenti di depan rumah.
Langkahku berbalik, urung menuju dapur. Dengan hati
bertanya-tanya aku menuju pintu depan. Kusingkap tirai. Malam terlihat makin
pekat. Selain sapu yang tersandar di kusen pintu, kulihat lima orang
lelaki bertubuh besar dan kekar turun dari kuda yang mereka tumpangi dan
berjalan memasuki halaman rumah. Semuanya memakai baju merah dengan ikat kepala
bewarna hitam, sepatu yang ujungnya runcing, dan masing-masing membawa sebilah
golok. Setiap orang dari mereka tampak gagah dan tangkas.
Kututup tirai. Hatiku berdebar tak keruan.
Tak lama kemudian,
‘Duk..Duk..Duk..Buka
pintu!!’ terdengar suara yang menggelegar disertai gedoran di pintu.
Dengan memberanikan diri, kuputar anak kunci dan
kubuka pintu. Baru jelas terlihat olehku perawakan dari kelima orang itu.
Sepintas, terlihat mereka berumur sekitar 30-40 tahun, memiliki tinggi tubuh
yang hampir sama. Ada yang gemuk, tua, muda, berkumis, dan berewok. Tapi,
kelimanya tampak gagah dan kekar.
‘Selamat
malam..Ada keperluan apa yang membuat Bapak-Bapak sekalian datang ke rumah saya
malam-malam begini?’ tanyaku. Meski rasa kaget dan takut mengepung hati tapi aku mencoba untuk tidak memperlihatkannya.
‘Tak usah
berpura-pura, Bocah!!..Di mana lelaki yang tadi masuk ke rumah ini?!!!’
bentak si berewok.
Hmmm..Bocah?..Mereka
memanggilku ‘bocah’?..ga salah?, batinku.
‘Tak usah
berpura-pura. Cepat suruh ke luar lelaki itu!!!’ sambung si kumis.
‘Bapak-Bapak
sekalian tidak menjawab pertanyaan saya,’ ujarku sambil tersenyum.
Tiba-tiba, si Gemuk menempelkan bilah goloknya ke
leherku sambil berkata dengan nada mengancam, ‘Cepat beritahu di mana dia sekarang?.. Atau, golok ini yang akan
berbicara.’
Kaget tak bisa kupungkiri. Tak menyangka bahwa tamu
tak diundang ini tanpa segan-segan berbuat seperti itu. Dengan gerakan perlahan,
kutepis bilah golok itu dari leher, ‘Ohh..Jadi,
keinginan Bapak-Bapak ini ingin bertemu dengan lelaki itu?..Tapi, kayanya,
tidak perlu dengan cara seperti ini, Pa..’
Raut wajah mereka terlihat tak sabar mendengar
kata-kataku.
‘Cepat..suruh
dia keluar atau kami yang akan menyeretnya ke luar,’ seru si Gemuk lagi.
‘Hmmm..Begini,
Bapak-Bapak..Lelaki itu sekarang jadi tamu saya. Tadi, dia berpesan kepada
saya, saat ini, dia tidak ingin ditemui
oleh siapapun juga, termasuk para bapak ini. Dan, untuk menyeretnya ke
luar?..menurut saya, itu bukan sikap yang bijak ya, Pa..Masa Bapak-Bapak
ini mau menerobos rumah saya seenaknya tanpa minta ijin kepada tuan rumah
terlebih dulu?’ sahutku masih sambil tersenyum meski dalam hati aku merasa
jerih.
‘BOCAH
SOMBONG!!!’ seru Si Tua kesal sambil mengayunkan goloknya dengan gerakan
menebas ke arah kepalaku.
Merasa ada angin yang menyambar, seketika lenganku
menangkis pergelangan tangan yang memegang golok itu. Golok pun terlepas dari
genggaman Si Tua. Tangkisan tanganku tadi membuat Si Tua mencelat mundur dua
langkah. Kelima lelaki itu tampak terkejut. Mereka sama sekali tak menyangka aku mampu membuat Si Tua mundur.
Tapi, tak lama kemudian, belum
sempat aku menghela nafas lega, Si Gemuk menghunus goloknya ke arah dadaku.
Kusambut ujung golok itu dengan kedua telapak tanganku. Si Gemuk tampak kaget
melihat aku berhasil memegang goloknya. Kutolak golok itu, dan seketika Si
Gemuk terjengkang ke belakang. Darah keluar dari mulutnya.
Keempat lelaki itu terlihat makin geram. Si Muda dan
Si Kumis menerjang bersamaan dengan menghunus golok ke arahku.
Aku berguling sambil menyambar sapu yang tersandar
di kusen pintu. Dengan gerakan cepat kupukul kedua tangan yang memegang golok
itu dengan gagang sapu. Golok terlepas dari genggaman mereka. Tampak mereka
meringis sambil memegangi pergelangan tangan. Hi..hi..mereka pasti merasa kaku
dan kesemutan.
Melihat keempat temannya tak berhasil membuatku
mundur, Si Brewok menerjang dengan penuh nafsu. Ditebaskannya golok ke arah
kepalaku. Sebelum golok itu mengenai kepala, kuangkat kedua tanganku yang
memegang gagang sapu sambil kuangkat kedua kakiku menghantam dadanya. Si Brewok
terpental ke belakang sampai sekitar dua meter. Dia terduduk, tersandar ke batang
pohon mangga di dekat pagar. Mukanya menahan nyeri yang sangat. Tangannya memegang
dada dan sorot mata penuh dendam kepadaku.
‘Tak
kusangka, tenaga dalam Bocah ini begitu kuat. Hampir sempurna. Golokku tidak
mampu menebas gagang sapunya. Golokku serasa menghantam baja. Malah berbalik, dia berhasil membuatku terpental,’ batin Si Brewok.
‘Jadi,
gimana?’ tanya Si Muda kepada teman-temannya.
‘Kita serang
bersamaan,’ jawab Si Tua.
Senyum tersungging di wajahku ketika kelima lelaki
itu bersama-sama menghampiri. Secepat kilat, mereka langsung menyerangku dari
semua penjuru. Tak kalah cepat, menyingkirkan rasa kuatir dan takut yang tadi
sempat menyergapku, aku melesat ke atas sambil bersalto dua kali di udara, menghindari kepungan mereka. Tampak wajah tak puas di kelima lelaki itu. Mereka
berbalik dan terus menyerangku. Si Gemuk membentak sambil menerjang dengan
goloknya yang tak henti membuat gerakan menebas ke daerah-daerah mematikan di
tubuhku. Aku berkelit dan langsung mengumpulkan tenaga dalam. Kuputar tanganku
dan kulontarkan tenaga pukulan angin ke
arah kelima lelaki itu. Segulung pukulan angin yang keras menampar tubuh mereka
membuat tubuh kelima lelaki itu terjungkal dan terhempas di pagar. Bersamaan
dengan itu, di udara merebak bau walang sangit yang sangat kuat.
gambar dari sini |
‘Racun walang
sangit..Cepat, tahan nafas!!‘ perintah Si Tua.
Kelima lelaki itu hampir serentak menahan nafas mereka supaya
tidak menghirup racun tadi. Tapi tak urung, bau walang sangit telah masuk ke
dalam saluran pernafasan mereka. Jurus walang sangit melindungi diri adalah salah satu jurus dari ilmu ‘Walang Melindungi Diri’ yang kukuasai.
Tampaknya kelima lelaki itu mengenal jurus yang kukeluarkan tadi.
Sambil tersenyum, aku pandang kelima wajah kelima
lelaki itu bergantian. Muka mereka tampak mengejang kaku menahan nyeri, pusing, mual
yang luar biasa.
‘Bagaimana,
Bapak-Bapak?..Tak usah cemas bila bau tadi sempat terhirup. Karena, racun tadi
tidak mematikan. Dalam waktu tiga hari, rasa mual akan hilang. Banyak-banyak minum
air putih aja, ya, Pa..Jangan mengerahkan tenaga dalam untuk menahan atau
mengusir racun yang sempat terhirup tadi..Nanti, racun malah makin menyebar ke
saluran tubuh yang lain,’ ujarku.
Malam kembali senyap. Lampu gantung di teras
berayun-ayun lembut ditiup angin. Sinarnya seperti berkelap-kelip.
‘Ahhhhh..ngantuukkkk..Tampaknya
Bapak-Bapak juga sudah kepayahan. Jadi, sepertinya, pertarungan ini ga bisa kita
teruskan sekarang..Yowes, aku pamit tidur dulu, ya, Pa..Lagian, aku ada tamu.
Seengganya, sebagai tuan rumah yang baik aku harus menjamu tamuku..See You,
Bapak-Bapak..’ sambungku lagi sambil berbalik dengan langkah jumawa menuju
rumah.
Malam masih senyap. Bertambah pekat. Angin
berselimut kabut. Dingin. Menemani rentang malam yang bisu..
Aku masuk ke dalam rumah dan kukunci pintu.
Kusingkap tirai dan kulihat kelima lelaki itu berjalan ke luar halaman dengan
terhuyung-huyung dan bersusah payah naik ke atas kuda masing-masing. Aku
benar-benar bisa menghela nafas lega sekarang. Kututup tirai dan menuju kamar belakang. Suara
derap kaki kuda terdengar menjauh. Kubuka pintu kamar dan kulihat ke dalam..
‘Lho?..Koq,
ga ada?..Kemana tamu misterius tadi?..,’ pikirku. ‘Halooo???..Haloo??..,’ kataku sambil memeriksa sekeliling kamar.
Kuperiksa belakang pintu, dalam lemari, tapi tak ada tanda-tanda tamu misterius
itu ada di sana. Aku berjongkok di samping tempat tidur. Kusingkap kain sprei
yang menjuntai di sisi tempat tidur dan melongok ke kolong. Rasa terkejut yang
sangat menyergapku dengan apa yang kulihat.
(bersambung ke sini)
(bersambung ke sini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar