Pages

Minggu, 22 Maret 2015

MISTERI DI SUATU MALAM

(bag 3) Racun Jatuh Cinta

Angin mendesir sendu..
Menyapu kerimbunan perdu..
Ilalang bagai menari..
Rumput lembab mendekap embun jernih..

Wanita tua itu berjalan dengan tegak diikuti ketujuh lelaki yang berbadan kekar dan gagah. Ada suatu kesal terlihat di wajah wanita tua itu. Kerut di ujung bibir dan matanya tak mampu disembunyikan oleh polesan bedak yang tebal. Kebaya yang dikenakannya terbuat dari kain sutra terbaik.  Wewangian yang menyengat menguar dari tubuhnya ketika angin berhembus.

Selamat pagi,’ ujar wanita itu tegas. Sorot matanya tajam memandang kami. Tak muncul senyum di wajahnya.

Selamat pagi,’ balas kami.

Ada keperluan apa yang membuat Ibu dan Bapak-Bapak ini datang ke rumah saya?’ tanyaku sambil tersenyum.

Sebenarnya, kami tak ada keperluan dengan Mba ini. Kami memiliki urusan dengan lelaki yang semalam Mba sembunyikan,’ jawab wanita tua itu dingin.

Ohhh..,’ jawabku.

Mata wanita tua itu membesar seakan kesal dengan jawabanku. Ujarnya lagi, ‘Ya..jadi, selayaknya, serahkan lelaki itu. Maka, kami bisa menyelesaikan urusan yang ada tanpa melibatkan pihak ke tiga.’

Aku tersenyum sambil berujar, ‘Bu..saya mau meluruskan..saya tidak menyembunyikan lelaki itu. Tapi, saat ini, lelaki itu telah menjadi tamu saya. Sudah sepantasnya juga, saat ini,  dia menjadi tanggung jawab saya.’

‘Ohhh..jadi, Mba ini mau ikut campur?’ tanya wanita tua itu,  sinis.

‘Saya tak bermaksud demikian,’ jawabku.

‘Tapi, Mba tadi bilang, kalau lelaki itu sekarang menjadi tanggung jawab Mba. Kalau begitu, berarti, Mba ikut terlibat dalam masalah ini,’ kata wanita tua itu dengan galak.

‘Tidak mengapa bila diartikan demikian,’ ujarku. ‘Kalau begitu, karena saya sekarang sudah menjadi bagian dari masalah ini, sudah seharusnya saya juga diberitahu tentang masalah apakah ini?’ tanyaku. Membingungkan sebenarnya. Aku jadi terlibat ke dalam masalah orang lain tanpa mengetahui ujung pangkalnya.

Wanita tua itu terbahak mendengar kata-kataku. ‘Lucu sekali..tak mengerti ujung pangkal urusan orang tapi mau ikut campur,’ ujarnya sinis. ‘Sudahlah, serahkan saja lelaki itu sekarang.’

Hmmmm..sepertinya urusan ini sangat menarik. Jadi, saya malah merasa senang terlibat dalam masalah ini,’ kataku.

Dasar, tukang ikut campur!!!..Kalo begitu, cepat serahkan lelaki itu atau kami akan merebutnya dengan paksa,’ seru wanita tua itu tak sabar. Ketujuh lelaki kekar di belakangnya serentak bersiaga memegang gagang goloknya masing-masing.

Ibu..Saya tak akan menyerahkan tamu saya tanpa jelas urusannya. Kalau urusannya sudah jelas, bukankah kita bisa menyelesaikannya dengan baik-baik?’ kataku perlahan.

Urusan ini tak bisa diselesaikan dengan baik-baik. Lelaki di dalam adalah penjahat paling keji. Dia seorang penjahat hati. Mempermainkan perasaan anak gadis orang seenaknya. Hi..hi..Aku tahu, dia sekarang dalam keadaan menyedihkan. Racun patah hatiku membalaskan sedikit dendam anak gadisku satu-satunya. Tapi, itu tak sebanding dengan penderitaan anakku. Makanya, cepat serahkan lelaki itu. Aku akan membayar lunas sakit hati anakku,’ ujarnya berapi-api. Rasa marah dan sedih sangat terasa dalam nada bicaranya.

Aku, Mba Aya, Mba Ditri, dan Mas Yuswara terdiam mendengar penjelasan wanita tua itu. Belum sempat kami berpikir lebih jauh, wanita tua itu melanjutkan, ‘Anakku sekarang seperti orang tidak waras keadaannya. Beberapa kali mencoba bunuh diri. Kalau lelaki itu tak punya hati kepada anakku, kenapa dia mempermainkan hatinya?..Berkata-kata manis..Memberi harapan kepadanya? Sekarang anakku tak mengenal siapapun lagi. Di hati dan otaknya hanya ada nama lelaki itu.’

‘Anak ibu..sudah…..,’ tanyaku pelan sambil memberi isyarat di depan perut.

‘Jangan seenaknya menuduh anak orang!!!’ jawabnya membentak, tersinggung dan tak suka. Aku terkejut dan langsung terdiam.  ‘Anak gadisku anak baik-baik. Anak yang manis..dan ceria..Sayangnya, dia telah salah menaruh hati. Keadaannya sekarang sangat menyedihkan….Aku tak sanggup melihat anakku seperti itu,’ lanjutnya sambil matanya berkaca-kaca. Nada bicaranya sangat sedih saat dia menceritakan kondisi anaknya. ‘Sekarang, tolong..Serahkan lelaki itu!!’ serunya keras.

Kami berempat berpandangan begitu mendengar penjelasan wanita tua itu.

Seperti yang Ibu katakan tadi, Ibu tahu kondisi yang sekarang dialami lelaki itu. Nanti, ketika lelaki itu telah pulih, saya akan memberitahu apa yang Ibu sampaikan barusan. Mohon maaf, untuk saat ini, saya tidak bisa menyerahkannya kepada Ibu. Biar bagaimana pun, saat ini, dia adalah tamu saya,’ kataku hati-hati.

‘Tak ada nanti. Aku harus membawanya saat ini. Tentang hukuman apa yang akan aku kenakan padanya, itu tergantung dari kondisi anakku nanti,’ ujarnya tegas.

Kami berempat berpandangan dan saling tersenyum.

Kalau Mba tak mau menyerahkan, jangan salahkan kalau kami harus mengambilnya secara paksa.

Begitu selesai kalimatnya, wanita tua itu telah menerjang ke arah kami berempat. Ketujuh lelaki kekar itu pun menyerang secara bersamaan. Ketujuh lelaki itu menyerang Mas Yuswara, Mba Aya, dan Mba Ditri. Mereka menyerang dangan gerakan menebas golok dan mencengkeram. Tiga orang menyerang Mas Yuswara. Sisanya memecahkan diri menjadi dua kelompok, menyerang Mba Aya dan Mba Ditri. Ketujuh lelaki itu tak bisa dianggap remeh. Meski mereka berbadan besar tapi gerakannya lincah dan gesit. Beberapa kali serangan golok mereka hampir menebas telak di tubuh para sahabatku itu. Serangan-serangan yang dilancarkan oleh para sahabatku itu pun tak langsung membuat ketujuh lelaki itu mundur atau terjatuh. Beberapa kali sempat membuat ketujuh lelaki itu tergetar dan sempoyongan. Tapi, sesaat kemudian, ketujuh lelaki itu menerjang maju lagi. Sampai akhirnya, para sahabatku mengeluarkan jurus andalan yang mereka miliki.

Angin berbisik lirih. Gemerisik suara dedaunan ikut menyaksikan kami yang sedang berlaga.

Mba Ditri tersenyum ke arah kedua lelaki yang menyerangnya sambil berujar dengan suara merdunya, ‘Bapak-bapak..harap hati-hati.’ Kedua lelaki penyerangnya seperti tersihir. Untuk sesaat mereka seperti orang yang sedang terpesona akan sesuatu yang indah. Terbuai oleh suara merdu merayu dan manisnya sebuah senyuman. Ketika tersadar, sudah terlambat. Jari-jari Mba Ditri telah menutuk jalan darah mereka.

Begitu juga dengan Mas Yuswara. Ketika ketiga lelaki bertubuh besar itu hendak membacok tubuhnya, telapak tangan kanannya segera diayunkan. Segulung tenaga pukulan keras berhawa dingin menampar tubuh ketiga lelaki itu. Membuat ketiga lelaki itu bergetar, telinga berdengung, mata berkunang-kunang, kepala terasa berat, dan kaki seperti tak bertenaga. Akhirnya, mereka terhuyung dan roboh terkulai.

Menghadapi kedua lelaki yang menyerangnya, gerakan Mba Aya tetap terlihat gemulai dan anggun. Ketika kedua lelaki itu menyerang hendak menebas kedua tangannya, secepat kilat Mba Aya memakai jurus ‘menangkap belut’ untuk mencengkeram kedua nadi tangan penyerangnya itu. Sama sekali tak dinyana oleh kedua penyerangnya bahwa tangan yang lemah lembut itu bisa mengeras seperti baja, yang kini mencengkeram urat nadi mereka. Kedua lelaki itu tertegun. Dengan urat nadi yang tercengkeram, tenaga kedua lelaki itu banyak berkurang. Sekali sentakan, kedua lelaki itu terjerambab ke depan. Mba Aya kemudian menutuk jalan darah kedua lelaki itu.

Sementara,  wanita tua itu menyerang dengan sorot mata penuh kesal kepadaku. Dua buah tangannya seperti cakar mengincar tenggorokanku. Gerakannya tidak hanya cepat tapi juga penuh tenaga. Sebelum sempat kedua tangan itu mencekik tenggorokanku, sebuah selendang meliuk dan meluncur ke arah ke dua tangan wanita tua itu. Selendang sutra yang halus kini berubah seperti cambuk yang keras. Wanita tua itu langsung menarik tangannya menghindari tangannya tercambuk.
Aku menoleh ke kiri, Mba Ditri mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum ke arahku. Senyum yang sungguh memikat hati. Meski gagal, wanita tua itu tetap melancarkan serangan-serangannya. Kali ini, kepadaku dan Mba Ditri. Gerakan Mba Ditri sangat gemulai dan indah, apalagi dilengkapi dengan selendang seperti itu. Sangat mirip seperti kupu-kupu yang sedang menggerakkan sayapnya. Senyumnya tak terlepas dari bibirnya. Senyuman yang mampu membuat hilangnya konsentrasi orang yang melihatnya, meski sesaat. Wanita tua itu berusaha menghindari senyuman Mba Ditri.

Kemudian, wanita tua itu mengayunkan tangan kanannya ke arahku. Aku menghindar sambil tangan kanan kuulurkan untuk mencengkeram pergelangan tangannya. Tangan kanan wanita tua itu berkelit menghindar cengkeramanku, sementara tangan kirinya diulurkan persis di atas lambungku. Sebelum sempat mengenai lambungku, aku berkelit dan berusaha mencengkeram tangan kirinya. Ditariknya kedua tangannya. Kedua tangannya kemudian diangkat dan diputar-putar di depan dadanya. Senyuman sinis kembali tersimpul di sudut bibirnya. Ditolaknya kedua telapak tangannya ke depan, ke arahku. Segulung angin dingin menghampiriku. Sesaat sebelum angin itu mengenai tubuhku, melintas angin menguarkan wangi yang menyengat. Wangi bunga mawar. Lembut. Segar. Nyaman. Menenangkan. Untuk sesaat, semua yang ada seolah tersihir oleh keharumannya. Tak luput juga wanita tua itu. Untuk sesaat ia tertegun.



Aku menoleh ke kiri di mana arah angin dengan harum bunga mawar itu berasal. Mba Aya tersenyum padaku. Aku tadi sempat melihat tangan Mba Aya berputar-putar mengumpulkan angin begitu melihat wanita tua itu hendak mengeluarkan racun patah hatinya. Gulungan angin yang dikumpulkannya menyerupai kelopak bunga mawar.  Yup, Racun Patah Hati yang dikeluarkan wanita tua itu telah ditangkal oleh Racun Jatuh Cinta yang dikeluarkan oleh Mba Aya. Efek dari Racun Jatuh Cinta ini, salah satunya, bisa meredakan emosi tinggi. Ketegangan berubah menjadi tenang. Amarah berubah menjadi keramahan. Meski untuk sesaat.

Kami semua yang saat itu tengah dilanda emosi seketika menjadi tenang. Sesaat kemudian, wanita tua itu menghampiri ketujuh lelaki pengawalnya. Dibukanya tutukan yang ada di tubuh mereka dan menghampiri kami. Tetes keringat mengalir di dahinya, menghapus sedikit bedak. Ujarnya,’ Baiklah, untuk saat ini, kami tak berhasil membawa lelaki itu. Tapi, urusanku dengannya belum selesai. Sampaikan padanya apa yang kuceritakan tadi.’
Wanita tua itu berbalik dan melangkah ke luar halaman dengan tegap diikuti ketujuh pengawalnya yang berjalan sempoyongan. Mereka naik ke kuda mereka masing-masing dan segera berlalu dari pandangan.

Kami berempat hanya diam tak dapat berkata apa-apa. Sampai akhirnya, Mas Yuswara bertanya memecah kesunyian, ‘Tadi itu siapa, Dik?’.

Aku diam lalu nyengir, ‘ He..he..Aku juga tak tahu, Mas.’ Aku memang tak mengenal mereka, juga lelaki misterius yang datang semalam. Tapi, apa yang kualami sejak semalam benar-benar seperti mimpi.

Sejak semalam, banyak kejadian aneh yang datang. Mohon maaf, jadi melibatkan Mas dan Mba-Mba ini,’ sambungku, ‘Tapi, matur suwun lho, Mas, Mba..Kalau kalian ga datang pagi ini, kita mungkin ga akan ketemu lagi.

Ahhh..sudahlah, Dik..Kita malah bersyukur bisa datang tepat pada waktunya,’ kata Mba Ditri sambil tersenyum dan merangkulku.

Okelah..Kalau begitu, kami mau pamit, Dik,’ kata Mba Aya.

Yaaaaa..Koq, pamit, sih?..Cepet banget..Sebentar lagi aja, dunk,’ ujarku merajuk.

Lain waktu, kita pasti ke sini lagi, Dik. Oiya, lelaki yang di dalam itu gimana keadaanya sekarang?’ tanya Mas Yuswara. Tanya Mas Yuswara seperti mengingatkanku akan tamu misterius itu. Berempat kami masuk ke dalam menuju kamar belakang. Tampak oleh kami berempat, lelaki itu masih belum siuman. Tapi, warna mukanya sudah tidak pucat lagi. Sudah segar. Lelaki itu seperti orang tertidur. Mba Aya melihat jam. 15 menit lagi, dua jam sudah lelaki itu tak sadarkan diri.

Mba Aya..kalo lewat dari 2 jam dia belum sadar juga, gimana?’ tanyaku. Mba Aya memegang nadi di pergelangan tangan lelaki itu.

Sudah normal. Gapapa, Dik..Lewat sampe setengah jam juga gapapa..Asal jangan lewat 10 jam,’ jawab Mba Aya menggodaku.

Setelah kembali berpamitan, akhirnya ketiga sahabatku meninggalkan rumah.

(bersambung ke sini)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar