(bag 3) Racun Jatuh Cinta
Angin
mendesir sendu..
Menyapu
kerimbunan perdu..
Ilalang
bagai menari..
Rumput
lembab mendekap embun jernih..
Wanita
tua itu berjalan dengan tegak diikuti ketujuh lelaki yang berbadan kekar dan
gagah. Ada suatu kesal terlihat di wajah wanita tua itu. Kerut di ujung bibir
dan matanya tak mampu disembunyikan oleh polesan bedak yang tebal. Kebaya yang
dikenakannya terbuat dari kain sutra terbaik.
Wewangian yang menyengat menguar dari tubuhnya ketika angin berhembus.
‘Selamat pagi,’
ujar wanita itu tegas. Sorot matanya tajam memandang kami. Tak muncul senyum di
wajahnya.
‘Selamat pagi,’
balas kami.
‘Ada
keperluan apa yang membuat Ibu dan Bapak-Bapak ini datang ke rumah saya?’
tanyaku sambil tersenyum.
‘Sebenarnya,
kami tak ada keperluan dengan Mba ini. Kami memiliki urusan dengan lelaki yang
semalam Mba sembunyikan,’ jawab wanita tua itu dingin.
‘Ohhh..,’
jawabku.
Mata wanita tua itu membesar seakan kesal dengan
jawabanku. Ujarnya lagi, ‘Ya..jadi,
selayaknya, serahkan lelaki itu. Maka, kami bisa menyelesaikan urusan yang ada
tanpa melibatkan pihak ke tiga.’
Aku tersenyum sambil berujar, ‘Bu..saya mau meluruskan..saya tidak menyembunyikan lelaki itu. Tapi,
saat ini, lelaki itu telah menjadi tamu saya. Sudah sepantasnya juga, saat ini,
dia menjadi tanggung jawab saya.’
‘Ohhh..jadi,
Mba ini mau ikut campur?’ tanya wanita tua itu, sinis.
‘Saya tak
bermaksud demikian,’ jawabku.
‘Tapi, Mba
tadi bilang, kalau lelaki itu sekarang menjadi tanggung jawab Mba. Kalau
begitu, berarti, Mba ikut terlibat dalam masalah ini,’ kata wanita tua itu
dengan galak.
‘Tidak
mengapa bila diartikan demikian,’ ujarku. ‘Kalau begitu, karena saya sekarang sudah menjadi bagian dari masalah
ini, sudah seharusnya saya juga diberitahu tentang masalah apakah ini?’ tanyaku. Membingungkan sebenarnya. Aku jadi
terlibat ke dalam masalah orang lain tanpa mengetahui ujung pangkalnya.
Wanita tua itu terbahak mendengar kata-kataku. ‘Lucu sekali..tak mengerti ujung pangkal
urusan orang tapi mau ikut campur,’ ujarnya sinis. ‘Sudahlah, serahkan saja lelaki itu sekarang.’
‘Hmmmm..sepertinya
urusan ini sangat menarik. Jadi, saya malah merasa senang terlibat dalam
masalah ini,’ kataku.
‘Dasar,
tukang ikut campur!!!..Kalo begitu, cepat serahkan lelaki itu atau kami akan
merebutnya dengan paksa,’ seru wanita tua itu tak sabar. Ketujuh lelaki
kekar di belakangnya serentak bersiaga memegang gagang goloknya masing-masing.
‘Ibu..Saya
tak akan menyerahkan tamu saya tanpa jelas urusannya. Kalau urusannya sudah
jelas, bukankah kita bisa menyelesaikannya dengan baik-baik?’ kataku
perlahan.
‘Urusan ini
tak bisa diselesaikan dengan baik-baik. Lelaki di dalam adalah penjahat paling
keji. Dia seorang penjahat hati. Mempermainkan perasaan anak gadis orang
seenaknya. Hi..hi..Aku tahu, dia sekarang dalam keadaan menyedihkan. Racun
patah hatiku membalaskan sedikit dendam anak gadisku satu-satunya. Tapi, itu
tak sebanding dengan penderitaan anakku. Makanya, cepat serahkan lelaki itu. Aku
akan membayar lunas sakit hati anakku,’ ujarnya berapi-api. Rasa marah dan
sedih sangat terasa dalam nada bicaranya.
Aku, Mba Aya, Mba Ditri, dan Mas Yuswara terdiam
mendengar penjelasan wanita tua itu. Belum sempat kami berpikir lebih jauh,
wanita tua itu melanjutkan, ‘Anakku
sekarang seperti orang tidak waras keadaannya. Beberapa kali mencoba bunuh diri. Kalau lelaki itu tak punya hati
kepada anakku, kenapa dia mempermainkan hatinya?..Berkata-kata manis..Memberi
harapan kepadanya? Sekarang anakku
tak mengenal siapapun lagi. Di hati dan otaknya hanya ada nama lelaki itu.’
‘Anak
ibu..sudah…..,’ tanyaku pelan sambil memberi isyarat di depan perut.
‘Jangan
seenaknya menuduh anak orang!!!’ jawabnya membentak, tersinggung dan tak
suka. Aku terkejut dan langsung terdiam. ‘Anak gadisku anak baik-baik. Anak yang
manis..dan ceria..Sayangnya, dia telah salah menaruh hati. Keadaannya sekarang
sangat menyedihkan….Aku tak sanggup melihat anakku seperti itu,’ lanjutnya
sambil matanya berkaca-kaca. Nada bicaranya sangat sedih saat dia menceritakan
kondisi anaknya. ‘Sekarang,
tolong..Serahkan lelaki itu!!’ serunya keras.
Kami berempat berpandangan begitu mendengar
penjelasan wanita tua itu.
‘Seperti yang
Ibu katakan tadi, Ibu tahu kondisi yang sekarang dialami lelaki itu. Nanti,
ketika lelaki itu telah pulih, saya akan memberitahu apa yang Ibu sampaikan
barusan. Mohon maaf, untuk saat ini, saya tidak bisa menyerahkannya kepada Ibu.
Biar bagaimana pun, saat ini, dia adalah tamu saya,’ kataku hati-hati.
‘Tak ada
nanti. Aku harus membawanya saat ini. Tentang hukuman apa yang akan aku kenakan
padanya, itu tergantung dari kondisi anakku nanti,’ ujarnya tegas.
Kami berempat berpandangan dan saling tersenyum.
‘Kalau Mba
tak mau menyerahkan, jangan salahkan kalau kami harus mengambilnya secara
paksa.’
Begitu selesai kalimatnya, wanita tua itu telah
menerjang ke arah kami berempat. Ketujuh lelaki kekar itu pun menyerang secara
bersamaan. Ketujuh lelaki itu menyerang Mas Yuswara, Mba Aya, dan Mba Ditri. Mereka
menyerang dangan gerakan menebas golok dan mencengkeram. Tiga orang menyerang
Mas Yuswara. Sisanya memecahkan diri menjadi dua kelompok, menyerang Mba Aya
dan Mba Ditri. Ketujuh lelaki itu tak bisa dianggap remeh. Meski mereka
berbadan besar tapi gerakannya lincah dan gesit. Beberapa kali serangan golok
mereka hampir menebas telak di tubuh para sahabatku itu. Serangan-serangan yang
dilancarkan oleh para sahabatku itu pun tak langsung membuat ketujuh lelaki itu
mundur atau terjatuh. Beberapa kali sempat membuat ketujuh lelaki itu tergetar
dan sempoyongan. Tapi, sesaat kemudian, ketujuh lelaki itu menerjang maju lagi.
Sampai akhirnya, para sahabatku mengeluarkan jurus andalan yang mereka miliki.
Angin berbisik lirih. Gemerisik suara dedaunan ikut
menyaksikan kami yang sedang berlaga.
Mba Ditri tersenyum ke arah kedua lelaki yang
menyerangnya sambil berujar dengan suara merdunya, ‘Bapak-bapak..harap hati-hati.’ Kedua lelaki penyerangnya seperti
tersihir. Untuk sesaat mereka seperti orang yang sedang terpesona akan sesuatu
yang indah. Terbuai oleh suara merdu merayu dan manisnya sebuah senyuman. Ketika
tersadar, sudah terlambat. Jari-jari Mba Ditri telah menutuk jalan darah
mereka.
Begitu juga dengan Mas Yuswara. Ketika ketiga
lelaki bertubuh besar itu hendak membacok tubuhnya, telapak tangan kanannya
segera diayunkan. Segulung tenaga pukulan keras berhawa dingin menampar tubuh
ketiga lelaki itu. Membuat ketiga lelaki itu bergetar, telinga berdengung, mata
berkunang-kunang, kepala terasa berat, dan kaki seperti tak bertenaga.
Akhirnya, mereka terhuyung dan roboh terkulai.
Menghadapi kedua lelaki yang menyerangnya, gerakan
Mba Aya tetap terlihat gemulai dan anggun. Ketika kedua lelaki itu menyerang
hendak menebas kedua tangannya, secepat kilat Mba Aya memakai jurus ‘menangkap belut’ untuk mencengkeram
kedua nadi tangan penyerangnya itu. Sama sekali tak dinyana oleh kedua
penyerangnya bahwa tangan yang lemah lembut itu bisa mengeras seperti baja, yang
kini mencengkeram urat nadi mereka. Kedua lelaki itu tertegun. Dengan urat nadi
yang tercengkeram, tenaga kedua lelaki itu banyak berkurang. Sekali sentakan,
kedua lelaki itu terjerambab ke depan. Mba Aya kemudian menutuk jalan darah
kedua lelaki itu.
Sementara, wanita
tua itu menyerang dengan sorot mata penuh kesal kepadaku. Dua buah tangannya
seperti cakar mengincar tenggorokanku. Gerakannya tidak hanya cepat tapi juga
penuh tenaga. Sebelum sempat kedua tangan itu mencekik tenggorokanku, sebuah
selendang meliuk dan meluncur ke arah ke dua tangan wanita tua itu. Selendang
sutra yang halus kini berubah seperti cambuk yang keras. Wanita tua itu
langsung menarik tangannya menghindari tangannya tercambuk.
Aku menoleh ke kiri, Mba Ditri mengedipkan sebelah
matanya sambil tersenyum ke arahku. Senyum yang sungguh memikat hati. Meski
gagal, wanita tua itu tetap melancarkan serangan-serangannya. Kali ini,
kepadaku dan Mba Ditri. Gerakan Mba Ditri sangat gemulai dan indah, apalagi
dilengkapi dengan selendang seperti itu. Sangat mirip seperti kupu-kupu yang
sedang menggerakkan sayapnya. Senyumnya tak terlepas dari bibirnya. Senyuman
yang mampu membuat hilangnya konsentrasi orang yang melihatnya, meski sesaat.
Wanita tua itu berusaha menghindari senyuman Mba Ditri.
Kemudian, wanita tua itu mengayunkan tangan
kanannya ke arahku. Aku menghindar sambil tangan kanan kuulurkan untuk
mencengkeram pergelangan tangannya. Tangan kanan wanita tua itu berkelit
menghindar cengkeramanku, sementara tangan kirinya diulurkan persis di atas
lambungku. Sebelum sempat mengenai lambungku, aku berkelit dan berusaha
mencengkeram tangan kirinya. Ditariknya kedua tangannya. Kedua tangannya
kemudian diangkat dan diputar-putar di depan dadanya. Senyuman sinis kembali
tersimpul di sudut bibirnya. Ditolaknya kedua telapak tangannya ke depan, ke
arahku. Segulung angin dingin menghampiriku. Sesaat sebelum angin itu mengenai
tubuhku, melintas angin menguarkan wangi yang menyengat. Wangi bunga mawar. Lembut.
Segar. Nyaman. Menenangkan. Untuk sesaat, semua yang ada seolah tersihir oleh
keharumannya. Tak luput juga wanita tua itu. Untuk sesaat ia tertegun.
Aku menoleh ke kiri di mana arah angin dengan harum
bunga mawar itu berasal. Mba Aya tersenyum padaku. Aku tadi sempat melihat
tangan Mba Aya berputar-putar mengumpulkan angin begitu melihat wanita tua itu
hendak mengeluarkan racun patah hatinya. Gulungan angin yang dikumpulkannya menyerupai
kelopak bunga mawar. Yup, Racun Patah Hati
yang dikeluarkan wanita tua itu telah ditangkal oleh Racun Jatuh Cinta yang
dikeluarkan oleh Mba Aya. Efek dari Racun Jatuh Cinta ini, salah satunya, bisa
meredakan emosi tinggi. Ketegangan berubah menjadi tenang. Amarah berubah
menjadi keramahan. Meski untuk sesaat.
Kami semua yang saat itu tengah dilanda emosi
seketika menjadi tenang. Sesaat kemudian, wanita tua itu menghampiri ketujuh lelaki
pengawalnya. Dibukanya tutukan yang ada di tubuh mereka dan menghampiri kami. Tetes
keringat mengalir di dahinya, menghapus sedikit bedak. Ujarnya,’ Baiklah, untuk saat ini, kami tak berhasil
membawa lelaki itu. Tapi, urusanku dengannya belum selesai. Sampaikan padanya
apa yang kuceritakan tadi.’
Wanita tua itu berbalik dan melangkah ke luar
halaman dengan tegap diikuti ketujuh pengawalnya yang berjalan sempoyongan.
Mereka naik ke kuda mereka masing-masing dan segera berlalu dari pandangan.
Kami berempat hanya diam tak dapat berkata apa-apa.
Sampai akhirnya, Mas Yuswara bertanya memecah kesunyian, ‘Tadi itu siapa, Dik?’.
Aku diam lalu nyengir, ‘ He..he..Aku juga tak tahu, Mas.’ Aku memang tak mengenal mereka,
juga lelaki misterius yang datang semalam. Tapi, apa yang kualami sejak semalam
benar-benar seperti mimpi.
‘Sejak
semalam, banyak kejadian aneh yang datang. Mohon maaf, jadi melibatkan Mas dan
Mba-Mba ini,’ sambungku, ‘Tapi, matur
suwun lho, Mas, Mba..Kalau kalian ga datang pagi ini, kita mungkin ga akan
ketemu lagi.’
‘Ahhh..sudahlah,
Dik..Kita malah bersyukur bisa datang tepat pada waktunya,’ kata Mba Ditri
sambil tersenyum dan merangkulku.
‘Okelah..Kalau
begitu, kami mau pamit, Dik,’ kata Mba Aya.
‘Yaaaaa..Koq,
pamit, sih?..Cepet banget..Sebentar lagi aja, dunk,’ ujarku merajuk.
‘Lain waktu,
kita pasti ke sini lagi, Dik. Oiya, lelaki yang di dalam itu gimana keadaanya
sekarang?’ tanya Mas Yuswara. Tanya Mas Yuswara seperti mengingatkanku akan
tamu misterius itu. Berempat kami masuk ke dalam menuju kamar belakang. Tampak
oleh kami berempat, lelaki itu masih belum siuman. Tapi, warna mukanya sudah
tidak pucat lagi. Sudah segar. Lelaki itu seperti orang tertidur. Mba Aya
melihat jam. 15 menit lagi, dua jam sudah lelaki itu tak sadarkan diri.
‘Mba
Aya..kalo lewat dari 2 jam dia belum sadar juga, gimana?’ tanyaku. Mba Aya
memegang nadi di pergelangan tangan lelaki itu.
‘Sudah
normal. Gapapa, Dik..Lewat sampe setengah jam juga gapapa..Asal jangan lewat 10
jam,’ jawab Mba Aya menggodaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar