(bag 2) Racun Patah Hati
Tamu misterius itu sedang meringkuk di kolong tempat
tidur. Masih berurai air mata dan tubuhnya menggigil. Mukanya semakin pucat.
Darah sudah berhenti keluar dari hidung dan bibirnya. Lebam-lebam biru di tubuh dan sekitar mata terlihat semakin nyata. Disertai rasa kaget dan
kebingungan, aku berusaha membawanya ke luar dari kolong tempat tidur itu.
‘Ya
Ampun..Ayo, Mas..keluar dari situ..Sekarang, keadaan dah aman..Mereka dah pergi
semua..Malam ini, akan baik-baik saja..Ayo..jangan di situ terus,’ ajakku
seraya berusaha membujuknya keluar dari kolong tempat tidur.
Tamu misterius itu menatapku dengan pandangan
kosong. Air matanya terus mengalir. Dia tak mengatakan apa-apa. Entah kenapa,
suaranya seperti menghilang.
‘Ayooo,’
bujukku sambil kuulurkan tangan.
Dengan pandangan kosong dan berurai air mata, tamu
misterius itu beringsut ke luar dari kolong tempat tidur. Sempoyongan dia
ketika mencoba berdiri. Kutopang tubuhnya sampai duduk di tempat tidur.
‘Berbaringlah,
Mas..Istirahat dulu..Biar kubersihkan luka-luka mas..,’ ujarku sambil
berlalu ke dapur. Aku kembali ke kamar tamu misterius itu dengan membawa
beberapa macam ramuan dan segelas air putih hangat. Kini, tamu misterius itu
sedang berbaring. Tatapan matanya kosong dengan uraian air mata.
‘Minum air
putih dulu, Mas,’ kataku seraya mengangsurkan segelas air hangat lengkap
dengan sedotan. Lelaki itu menerimanya dengan tangan gemetar. Seakan
tenggorokannya memiliki luka yang sangat parah. Perlu waktu yang agak lama
untuk menghabiskan segelas air hangat itu. Kembali ia berbaring. Tatapan matanya
kosong dan masih berurai air mata.
Kuusapkan air daun sirih di luka dan lebam pada
tangan, kaki, dan wajahnya. Wangi segar daun sirih memenuhi ruangan. Menabur
rasa nyaman. Hasil tumbukan batang pohon wijaya kusuma, daun babadotan, dan
daun sirih kutaburi di atas luka-luka dan kubebat dengan perban. Siapa yang
melukai lelaki ini? Apakah kelima orang tadi? Apa pasalnya?, pikirku dalam
hati. Sambil membersihkan luka, kuamati wajah tamu misterius itu. Meski berurai
air mata, sepasang matanya tetap menjadi bagian yang paling menarik. Lebam-lebam
di wajahnya tak mengurangi ketampanan yang dimilikinya. Mata batinku menakar,
selain tampan, lelaki ini pun memiliki hati yang bersih. Terkejut ketika aku
mendapati warna biru lebam di daerah sekitar leher ke arah dada. Lelaki ini sepertinya
telah bertarung dengan seorang ahli racun tingkat tinggi. Bisa diperkirakan bukan
dengan kelima lelaki yang tadi datang. Dan, lelaki ini masih hidup. Itu adalah sebuah
kejadian yang di luar dari kebiasaan. Aku menyimpulkan, tamu misteriusku ini
bukanlah seorang biasa.
‘Nah..sekarang,
luka-lukanya sudah bersih..Beristirahatlah ya, Mas..Besok, biar kucoba
keluarkan racun yang ada di tubuh Mas..Sebelum tidur, minum air rebusan buah
pala ini..biar bisa tidur..dan badan merasa nyaman,’ kataku seraya
mengangsurkan segelas air rebusan buah pala. Tapi, lelaki itu hanya menatapku
kosong. Kuangsurkan sedotan ke dekat bibirnya. Sama seperti tadi, ia pun
menyedot air buah pala itu dengan susah payah. Setelah minum, tak lama
kemudian, lelaki itu pun tertidur. Kuamati sekali lagi tamu misterius itu. Nafasnya
teratur diiringi dengkur yang halus.
Kembali ku ke kamar dan kubaringkan tubuh. Seputar
tanyaku akan lelaki misterius itu ikut larut dalam lelap.
Gulita masih memeluk malam..
Sepi terus menghentak waktu..
Mendekap mimpi-mimpi..
Menunggu dijemput oleh pagi..
***
Daun mangga bergemerisik menyambut hari..
Pagi yang berkabut..
Udara dingin masuk melalui dinding dan kisi-kisi
jendela..
Suara kokok ayam jantan terdengar bersahutan di
kejauhan..
Aku terbangun begitu mendengar suara tangis dengan
isak pilu dari kamar belakang. Setengah berlari aku menuju ke sana. Kubuka
pintu kamar dan kulihat tamu misterius itu sedang meringkuk dan menangis.
Kuhampiri dia. Matanya masih terpejam. Mukanya merah padam. Kupegang dahinya.
Panas. Tangannya juga panas. Kakinya juga. Kuambil daun kembang sepatu yang
telah bersih. Kuremas-remas dan kuolesi dengan minyak kelapa. Kutempelkan di
dahi dan di kepalanya. Setelah beberapa saat, tangisnya terhenti. Tapi,
wajahnya tetap berurai air mata. Kembali lelaki itu tertidur.
Setelah mandi dan membuat sarapan, aku kembali
memeriksa lelaki itu. Dia masih terbaring. Tatapan kosongnya menatapku begitu
aku masuk ke kamarnya.
‘Sudah
bangun, Mas?..Ayo, sarapan dulu,’ kataku sambil meletakkan nampan berisi
bubur dan perasan air kunyit di meja kecil
di sebelah tempat tidur. Wajahnya tak semerah tadi. Aku menerka kondisinya
sudah lebih baikan. Matanya menatapku dengan uraian air mata.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu depan dan
seseorang yang mengucapkan salam. Ahhhh..apakah mereka yang datang?, pikirku
mengenali suara itu. Segera kukeluar kamar dan menuju pintu depan.
Kuputar anak kunci, kubuka daun pintu, dan..
‘Haiiii..Mba-Mba…juga
Mas..apa kabar..Pagi-pagi dah di sini, ada perlu apakah???’ seruku gembira
begitu melihat mereka yang datang. Dua orang wanita yang cantik dan seorang
pria yang gagah. Mereka adalah sahabat-sahabatku. Mba Ditri, Mba Aya, juga Mas
Yuswara. ‘Ayoo..kita masuk,’ ajakku.
Sesampai di dalam, kami berbincang sebentar sebelum
akhirnya aku menceritakan kejadian semalam.
‘Sekarang,
mana orangnya, Dik?, tanya Mas Yuswara. Mas Yuswara seorang lelaki paruh baya. Memiliki mata yang
hangat. Kata-katanya yang bijak selalu mampu untuk mengurangi beban saat pundak
ditumbuhi gundah. Teman berbagi yang menyenangkan. Gurauan yang diselipkannya
selalu berhasil membuat senyum melarik kembali.
‘Ada di kamar
belakang, Mas,’ jawabku. ‘Yuk, kita lihat,’ sambungku lagi.
Kami semua masuk ke kamar belakang dan melihat tamu
misterius itu menatap kami dengan uraian air mata. Ketiga sahabatku itu
menghampirinya. Lebam-lebam di wajah, tangan, dan kakinya memudar.
‘Kamu tau dia
terkena racun apa, Dik Pit?’ tanya Mba Aya tiba-tiba. Mba Aya telah
menguasai ilmu racun. Ia memiliki wajah yang cantik. Kulitnya putih. Wajahnya
selalu berwarna kemerahan. Sikapnya selalu anggun dan penuh keseriusan.
‘Kalo liat gejalanya, sih..dia terkena racun
patah hati,’ jawabku.
‘Emang gejalanya apa?’ tanya Mba Ditri.
Mba Ditri adik sepupu Mba Aya. Wajahnya selalu tersenyum. Kulitnya sawo matang.
Perangainya lincah, ramah, dan selalu ceria. Suaranya merdu seperti murai batu. Senyum
manis dan suaranya sangat memikat hati. Gerakannya gemulai seperti kupu-kupu.
‘Uraian air mata yang terus menerus, itu
salah satu gejala yang jelas terlihat. Dia dicekam rasa sedih yang sangat. Perasaan
bahwa dirinya sangat malang itu yang membuatnya terus berurai air mata. Tapi, seiring
itu, racun ini juga membuat korban menikmati kesedihannya. Panik dirasakan korban
ketika merasa rasa sedihnya hilang. Kemudian, dia akan terus mencari rasa
sedihnya. Begitu dia mendapatkan kembali rasa sedih itu, dia kembali nyaman.
Intinya, dia menderita karena merasa nyaman dalam kesedihan.’
‘Iya..benar..itu gejala terkena racun patah
hati,’ sahut Mba Aya membenarkan. ‘Terus?’
tanyanya lagi.
‘Masa kiritis, biasanya sampai mencapai 100
hari, tergantung dari kekuatan penderita itu sendiri. Tapi, kalau tidak segera
ditangani, keadaan ini bisa mencapai bertahun-tahun. Penderita akan merasa hidup
tidak berarti lagi, bahkan bisa mendorongnya untuk melakukan bunuh diri.
Termasuk salah satu racun yang sangat mengerikan karena membuat seseorang tidak
menghargai kehidupan,’ jawabku sesuai pengetahuanku.
‘Dik pipit ini sedang curhat, ya?..Atau, sudah pernah
terkena racun ini?..Koq, sepertinya paham banget, sih?’ ujar Mas Yuswara sambil
tersenyum menggodaku.
‘Ahhhh..biasa
aja,’ jawabku malu.
‘Cara menanggulanginya?’ tanya Mba Aya
lagi.
‘Move On dan cinta baru,’ jawabku cepat.
Mba Ditri dan Mas Yuswara tersenyum penuh geli karena jawabanku polos dan tidak
nyambung.
‘Bagaimana caranya?’ tanya Mba Ditri,
pertanyaan menggoda.
‘Menanamkan pada pikiran bahwa cinta bukanlah
yang terpenting di dunia ini,’ jawabku serius.
‘Emang ada yang lebih penting lari cinta?’
tanya Mas Yuswara menimpali jawabanku yang makin ngelantur.
'Ada,' jawabku.
'Apa tuh, Dik?' tanya Mas Yuswara
'Ada,' jawabku.
'Apa tuh, Dik?' tanya Mas Yuswara
‘Oksigen,’ jawabku sambil nyengir.
Mba
Ditri dan Mas Yuswara terkikik mendengar jawabanku. Sambil tersenyum kecil, Mba
Aya bertanya, ‘Terus, apa yang harus kita
lakukan sekarang untuk menyelamatkan korban?’.
‘Hmmmm..kita harus memukul salah satu jalan
darah di batok kepalanya,’ jawabku perlahan dan serius. Sebenarnya, aku sudah
mengetahui hal itu tapi ragu-ragu untuk melakukannya. Karena, jalan darah yang dimaksud
adalah salah satu dari dua jalan darah kematian di tubuh manusia.
‘Yup, betul. Lebih keras pukulannya lebih
baik. Jangan dengan pukulan ringan. Karena, nanti hasilnya tidak seperti yang
kita harap. Meski kita dapat menyelamatkannya tapi akan membuatnya cacat mental
seumur hidup. Tapi, sebelumnya, Dik Pit harus menutuk enam jalan darah yang
penting terlebih dahulu. Ayo, lebih baik segera dilakukan sebelum racun merambat
ke bagian tubuh yang lain,’ kata Mba Aya.
Mas
Yuswara mendudukkan lelaki misterius itu. Aku duduk di belakangnya dan segera mengumpulkan
tenaga murni di ujung jari. Kututuk dua jalan darah penting di tubuhnya. Begitu
aku menarik jariku, darah menyembur dari mulutnya. Ngeri aku melihatnya.
‘Jangan takut..Teruskan..Itu pertanda baik,’
ujar Mba Aya mengarahkan.
Kembali
kututuk dua jalan darah penting lainnya di tubuh lelaki itu. Sama seperti tadi,
selesai kututuk, darah menyembur kembali dari mulutnya. Sebenarnya aku agak
ngeri dan mual melihatnya.
‘Teruskan,’ Mba Aya kembali mengarahkan. Kembali
kututuk dua jalan darah penting lainnya yang tersisa. Untuk ketiga kalinya,
darah menyembur dari mulutnya. Butiran keringat sebesar biji jagung membasahi
tubuh lelaki misterius itu. Kemudian, lelaki itu terkulai lemas.
‘Cepat..Pukul jalan darah di batok kepalanya,’
seru Mba Aya.
Dengan
mengusir rasa ragu dan kuatir, aku melakukan apa yang Mba Aya katakan. Setelah
itu, kami berempat termangu menatap tubuh yang terkulai itu. Ada perasaan lega
ketika melihat tubuh itu mulai bergerak-gerak. Matanya tidak mengeluarkan air
mata lagi. Lebam di sekitar leher dan dadanya menghilang. Tapi, lelaki itu
kemudian tak sadarkan diri.
Aku
memandang Mba Aya meminta jawaban. Kulihat Mba Aya tersenyum. Ujarnya, ‘Tak apa..Racunnya sudah ke luar..Sekitar dua
jam lagi, dia pasti akan siuman. Kondisinya sudah stabil.’
Mas
Yuswara dan Mba Ditri pun menghela nafas lega. Baru saja kami merasa lega,
terdengar suara gaduh di depan rumah. Suara derap kaki kuda yang ramai.
Gemuruhnya lebih keras dibandingkan semalam. Agaknya, kali ini, lebih dari lima
orang yang menunggang kuda.
Kami
berempat langsung ke luar kamar dan menuju ke ruang depan. Derap kuda makin
dekat. Tampak tujuh ekor kuda yang ditunggangi oleh tujuh orang lelaki berada
di belakang seekor kuda putih dengan seorang wanita tua yang duduk tegak di atasnya
berhenti di depan rumah. Kedelapan orang itu kemudian turun dari kuda mereka
dan berjalan memasuki halaman rumah. Kami berempat menuju ke teras seolah
menyambut kedatangan mereka.
(bersambung ke sini)
(bersambung ke sini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar