Pages

Minggu, 22 Maret 2015

MISTERI DI SUATU MALAM

(bag 2) Racun Patah Hati

Tamu misterius itu sedang meringkuk di kolong tempat tidur. Masih berurai air mata dan tubuhnya menggigil. Mukanya semakin pucat. Darah sudah berhenti keluar dari hidung dan bibirnya. Lebam-lebam biru di tubuh dan sekitar mata terlihat semakin nyata. Disertai rasa kaget dan kebingungan, aku berusaha membawanya ke luar dari kolong tempat tidur itu.

Ya Ampun..Ayo, Mas..keluar dari situ..Sekarang, keadaan dah aman..Mereka dah pergi semua..Malam ini, akan baik-baik saja..Ayo..jangan di situ terus,’ ajakku seraya berusaha membujuknya keluar dari kolong tempat tidur.

Tamu misterius itu menatapku dengan pandangan kosong. Air matanya terus mengalir. Dia tak mengatakan apa-apa. Entah kenapa, suaranya seperti menghilang.

Ayooo,’ bujukku sambil kuulurkan tangan.

Dengan pandangan kosong dan berurai air mata, tamu misterius itu beringsut ke luar dari kolong tempat tidur. Sempoyongan dia ketika mencoba berdiri. Kutopang tubuhnya sampai duduk di tempat tidur.

Berbaringlah, Mas..Istirahat dulu..Biar kubersihkan luka-luka mas..,’ ujarku sambil berlalu ke dapur. Aku kembali ke kamar tamu misterius itu dengan membawa beberapa macam ramuan dan segelas air putih hangat. Kini, tamu misterius itu sedang berbaring. Tatapan matanya kosong dengan uraian air mata.

Minum air putih dulu, Mas,’ kataku seraya mengangsurkan segelas air hangat lengkap dengan sedotan. Lelaki itu menerimanya dengan tangan gemetar. Seakan tenggorokannya memiliki luka yang sangat parah. Perlu waktu yang agak lama untuk menghabiskan segelas air hangat itu. Kembali ia berbaring. Tatapan matanya kosong dan masih berurai air mata.

Kuusapkan air daun sirih di luka dan lebam pada tangan, kaki, dan wajahnya. Wangi segar daun sirih memenuhi ruangan. Menabur rasa nyaman. Hasil tumbukan batang pohon wijaya kusuma, daun babadotan, dan daun sirih kutaburi di atas luka-luka dan kubebat dengan perban. Siapa yang melukai lelaki ini? Apakah kelima orang tadi? Apa pasalnya?, pikirku dalam hati. Sambil membersihkan luka, kuamati wajah tamu misterius itu. Meski berurai air mata, sepasang matanya tetap menjadi bagian yang paling menarik. Lebam-lebam di wajahnya tak mengurangi ketampanan yang dimilikinya. Mata batinku menakar, selain tampan, lelaki ini pun memiliki hati yang bersih. Terkejut ketika aku mendapati warna biru lebam di daerah sekitar leher ke arah dada. Lelaki ini sepertinya telah bertarung dengan seorang ahli racun tingkat tinggi. Bisa diperkirakan bukan dengan kelima lelaki yang tadi datang. Dan, lelaki ini masih hidup. Itu adalah sebuah kejadian yang di luar dari kebiasaan. Aku menyimpulkan, tamu misteriusku ini bukanlah seorang biasa.

Nah..sekarang, luka-lukanya sudah bersih..Beristirahatlah ya, Mas..Besok, biar kucoba keluarkan racun yang ada di tubuh Mas..Sebelum tidur, minum air rebusan buah pala ini..biar bisa tidur..dan badan merasa nyaman,’ kataku seraya mengangsurkan segelas air rebusan buah pala. Tapi, lelaki itu hanya menatapku kosong. Kuangsurkan sedotan ke dekat bibirnya. Sama seperti tadi, ia pun menyedot air buah pala itu dengan susah payah. Setelah minum, tak lama kemudian, lelaki itu pun tertidur. Kuamati sekali lagi tamu misterius itu. Nafasnya teratur diiringi dengkur yang halus.

Kembali ku ke kamar dan kubaringkan tubuh. Seputar tanyaku akan lelaki misterius itu ikut larut dalam lelap.

Gulita masih memeluk malam..
Sepi terus menghentak waktu..
Mendekap mimpi-mimpi..
Menunggu dijemput oleh pagi..

***


Daun mangga bergemerisik menyambut hari..
Pagi yang berkabut..
Udara dingin masuk melalui dinding dan kisi-kisi jendela..
Suara kokok ayam jantan terdengar bersahutan di kejauhan..

Aku terbangun begitu mendengar suara tangis dengan isak pilu dari kamar belakang. Setengah berlari aku menuju ke sana. Kubuka pintu kamar dan kulihat tamu misterius itu sedang meringkuk dan menangis. Kuhampiri dia. Matanya masih terpejam. Mukanya merah padam. Kupegang dahinya. Panas. Tangannya juga panas. Kakinya juga. Kuambil daun kembang sepatu yang telah bersih. Kuremas-remas dan kuolesi dengan minyak kelapa. Kutempelkan di dahi dan di kepalanya. Setelah beberapa saat, tangisnya terhenti. Tapi, wajahnya tetap berurai air mata. Kembali lelaki itu tertidur.

Setelah mandi dan membuat sarapan, aku kembali memeriksa lelaki itu. Dia masih terbaring. Tatapan kosongnya menatapku begitu aku masuk ke kamarnya.

Sudah bangun, Mas?..Ayo, sarapan dulu,’ kataku sambil meletakkan nampan berisi bubur dan perasan  air kunyit di meja kecil di sebelah tempat tidur. Wajahnya tak semerah tadi. Aku menerka kondisinya sudah lebih baikan. Matanya menatapku dengan uraian air mata.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu depan dan seseorang yang mengucapkan salam. Ahhhh..apakah mereka yang datang?, pikirku mengenali suara itu. Segera kukeluar kamar dan menuju pintu depan.

Kuputar anak kunci, kubuka daun pintu, dan..

Haiiii..Mba-Mba…juga Mas..apa kabar..Pagi-pagi dah di sini, ada perlu apakah???’ seruku gembira begitu melihat mereka yang datang. Dua orang wanita yang cantik dan seorang pria yang gagah. Mereka adalah sahabat-sahabatku. Mba Ditri, Mba Aya, juga Mas Yuswara. ‘Ayoo..kita masuk,’ ajakku.

Sesampai di dalam, kami berbincang sebentar sebelum akhirnya aku menceritakan kejadian semalam.

Sekarang, mana orangnya, Dik?, tanya Mas Yuswara. Mas Yuswara seorang lelaki paruh baya. Memiliki mata yang hangat. Kata-katanya yang bijak selalu mampu untuk mengurangi beban saat pundak ditumbuhi gundah. Teman berbagi yang menyenangkan. Gurauan yang diselipkannya selalu berhasil membuat senyum melarik kembali. 

Ada di kamar belakang, Mas,’ jawabku. ‘Yuk, kita lihat,’ sambungku lagi.

Kami semua masuk ke kamar belakang dan melihat tamu misterius itu menatap kami dengan uraian air mata. Ketiga sahabatku itu menghampirinya. Lebam-lebam di wajah, tangan, dan kakinya memudar.

Kamu tau dia terkena racun apa, Dik Pit?’ tanya Mba Aya tiba-tiba. Mba Aya telah menguasai ilmu racun. Ia memiliki wajah yang cantik. Kulitnya putih. Wajahnya selalu berwarna kemerahan. Sikapnya selalu anggun dan penuh keseriusan.

Kalo liat gejalanya, sih..dia terkena racun patah hati,’ jawabku.

Emang gejalanya apa?’ tanya Mba Ditri. Mba Ditri adik sepupu Mba Aya. Wajahnya selalu tersenyum. Kulitnya sawo matang. Perangainya lincah, ramah, dan selalu ceria.  Suaranya merdu seperti murai batu. Senyum manis dan suaranya sangat memikat hati. Gerakannya gemulai seperti kupu-kupu.

Uraian air mata yang terus menerus, itu salah satu gejala yang jelas terlihat. Dia dicekam rasa sedih yang sangat. Perasaan bahwa dirinya sangat malang itu yang membuatnya terus berurai air mata. Tapi, seiring itu, racun ini juga membuat korban menikmati kesedihannya. Panik dirasakan korban ketika merasa rasa sedihnya hilang. Kemudian, dia akan terus mencari rasa sedihnya. Begitu dia mendapatkan kembali rasa sedih itu, dia kembali nyaman. Intinya, dia menderita karena merasa nyaman dalam kesedihan.’

Iya..benar..itu gejala terkena racun patah hati,’ sahut Mba Aya membenarkan. ‘Terus?’ tanyanya lagi.

Masa kiritis, biasanya sampai mencapai 100 hari, tergantung dari kekuatan penderita itu sendiri. Tapi, kalau tidak segera ditangani, keadaan ini bisa mencapai bertahun-tahun. Penderita akan merasa hidup tidak berarti lagi, bahkan bisa mendorongnya untuk melakukan bunuh diri. Termasuk salah satu racun yang sangat mengerikan karena membuat seseorang tidak menghargai kehidupan,’ jawabku sesuai pengetahuanku.

Dik pipit ini sedang curhat, ya?..Atau,  sudah pernah terkena racun ini?..Koq, sepertinya paham banget, sih?’ ujar Mas Yuswara sambil tersenyum menggodaku.

 ‘Ahhhh..biasa aja,’ jawabku malu.

Cara menanggulanginya?’ tanya Mba Aya lagi.

Move On dan cinta baru,’ jawabku cepat. Mba Ditri dan Mas Yuswara tersenyum penuh geli karena jawabanku polos dan tidak nyambung.

Bagaimana caranya?’ tanya Mba Ditri, pertanyaan menggoda.

Menanamkan pada pikiran bahwa cinta bukanlah yang terpenting di dunia ini,’ jawabku serius.

Emang ada yang lebih penting lari cinta?’ tanya Mas Yuswara menimpali jawabanku yang makin ngelantur.

'Ada,' jawabku.

'Apa tuh, Dik?' tanya Mas Yuswara

Oksigen,’ jawabku sambil nyengir.

Mba Ditri dan Mas Yuswara terkikik mendengar jawabanku. Sambil tersenyum kecil, Mba Aya bertanya, ‘Terus, apa yang harus kita lakukan sekarang untuk menyelamatkan korban?’.

Hmmmm..kita harus memukul salah satu jalan darah di batok kepalanya,’ jawabku perlahan dan serius. Sebenarnya, aku sudah mengetahui hal itu tapi ragu-ragu untuk melakukannya. Karena, jalan darah yang dimaksud adalah salah satu dari dua jalan darah kematian di tubuh manusia.

Yup, betul. Lebih keras pukulannya lebih baik. Jangan dengan pukulan ringan. Karena, nanti hasilnya tidak seperti yang kita harap. Meski kita dapat menyelamatkannya tapi akan membuatnya cacat mental seumur hidup. Tapi, sebelumnya, Dik Pit harus menutuk enam jalan darah yang penting terlebih dahulu. Ayo, lebih baik segera dilakukan sebelum racun merambat ke bagian tubuh yang lain,’ kata Mba Aya.

Mas Yuswara mendudukkan lelaki misterius itu. Aku duduk di belakangnya dan segera mengumpulkan tenaga murni di ujung jari. Kututuk dua jalan darah penting di tubuhnya. Begitu aku menarik jariku, darah menyembur dari mulutnya. Ngeri aku melihatnya.

Jangan takut..Teruskan..Itu pertanda baik,’ ujar Mba Aya mengarahkan.

Kembali kututuk dua jalan darah penting lainnya di tubuh lelaki itu. Sama seperti tadi, selesai kututuk, darah menyembur kembali dari mulutnya. Sebenarnya aku agak ngeri dan mual melihatnya.

Teruskan,’ Mba Aya kembali mengarahkan. Kembali kututuk dua jalan darah penting lainnya yang tersisa. Untuk ketiga kalinya, darah menyembur dari mulutnya. Butiran keringat sebesar biji jagung membasahi tubuh lelaki misterius itu. Kemudian, lelaki itu terkulai lemas.

Cepat..Pukul jalan darah di batok kepalanya,’ seru Mba Aya.

Dengan mengusir rasa ragu dan kuatir, aku melakukan apa yang Mba Aya katakan. Setelah itu, kami berempat termangu menatap tubuh yang terkulai itu. Ada perasaan lega ketika melihat tubuh itu mulai bergerak-gerak. Matanya tidak mengeluarkan air mata lagi. Lebam di sekitar leher dan dadanya menghilang. Tapi, lelaki itu kemudian tak sadarkan diri.

Aku memandang Mba Aya meminta jawaban. Kulihat Mba Aya tersenyum. Ujarnya, ‘Tak apa..Racunnya sudah ke luar..Sekitar dua jam lagi, dia pasti akan siuman. Kondisinya sudah stabil.’

Mas Yuswara dan Mba Ditri pun menghela nafas lega. Baru saja kami merasa lega, terdengar suara gaduh di depan rumah. Suara derap kaki kuda yang ramai. Gemuruhnya lebih keras dibandingkan semalam. Agaknya, kali ini, lebih dari lima orang yang menunggang kuda.

Kami berempat langsung ke luar kamar dan menuju ke ruang depan. Derap kuda makin dekat. Tampak tujuh ekor kuda yang ditunggangi oleh tujuh orang lelaki berada di belakang seekor kuda putih dengan seorang wanita tua yang duduk tegak di atasnya berhenti di depan rumah. Kedelapan orang itu kemudian turun dari kuda mereka dan berjalan memasuki halaman rumah. Kami berempat menuju ke teras seolah menyambut kedatangan mereka.

(bersambung ke sini)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar