Siang itu, empat hari lalu. Hujan deras sejak
subuh. Hawa dingin yang masuk di celah-celah mantel yang kami kenakan tak
membuat langkah kami terhenti, juga gegas para pengantar pasien dan petugas di
poliklinik itu.
Yup, hari itu, saya mengantar adik saya ke salah satu
poliklinik, di kota Bogor. Hampir seminggu adik saya absen dari tempatnya
bekerja, kondisi perutnya tak kunjung membaik. Berulang kali konsultasi ke
dokter umum, rasa tak nyaman di perutnya tak kunjung berkurang. Hari itu, adik
saya meminta saya untuk mengantarnya menemui salah satu Dokter Penyakit Dalam
di poliklinik itu.
Setelah registrasi, kami duduk di ruang tunggu. Hujan masih
mengguyur. Hawa dingin semakin menggigit karena ditambah dingin dari pendingin ruangan. Dari balik jendela kaca
besar, saya melihat titik-titik air hujan yang turun seperti kaki-kaki air yang
menjejak bumi. Bunyinya berirama. Irama hujan membawa ingatan saya ke rekaman
peristiwa tiga tahun lalu, ketika saya sakit.
Tiga tahun lalu.
Yup, saat itu saya sakit. Saya terkena Myoma
uterus. Jalur non-medis yang saya pilih ternyata tak mampu untuk mengatasi
pendarahan hebat yang terjadi setiap siklus bulanan saya tiba. Sakit yang amat
sangat di bagian perut saya rasakan setiap saat. Hampir setahun, tiap bulan ketika siklus bulanan datang
membawa saya berulang kali ke rumah sakit untuk diinfus dan ditambah darah.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya dengan seiring waktu kondisi
saya bakal melemah. Baik lahir, juga psikis saya. Meski saya memaksakan diri untuk
selalu terlihat tersenyum tapi tidak
dalam diri saya. Hampir enam bulan lamanya, saya tak dapat bergerak bebas. Saya
yang sebelum sakit dapat bergerak bebas,
beraktifitas, lincah, penuh semangat, saat itu, hanya bisa berbaring. Sehari-hari
saya lewati dengan lebih banyak berbaring. Tak banyak gerakan yang bisa saya lakukan. Karena, gerakan
yang banyak akan memicu pendarahan yang hebat.
Berbaring dan mengeluh. Dalam
diri saya selalu mengeluh. Meratapi nasib. Sibuk mengasihani diri sendiri.
'Malangnya aku..Mengapa harus aku?'. Saya frustasi. Dicekam rasa khawatir. Panik yang luar biasa. Mencari penyembuhan ke sana-sini, kecuali satu tindakan yang saya
hindari, operasi. Saya terus berdoa kepada Sang Maha Baik untuk
menghilangkan sakit saya. Tapi, saya meminta dengan syarat, 'Saya tak mau
dioperasi, Ya Allah.' Saat itu, saya merasa doa saya tidak didengar olehNya, Sang
Maha Baik masih menghukum saya.
Saya sakit. Sakit. Sakit. Selalu mengingatkan diri bahwa saya itu Si Sakit. Dan, pemikiran tentang sakit itu
sendiri makin melemahkan saya. Saya merasa menjadi orang yang kurang beruntung.
Saya merasa benar-benar orang yang malang karena tubuh saya pun ikut tak mencintai
saya. Yup, saya menyalahkan tubuh saya sendiri.
Seutas senyum terbit di wajah saat saya mengingat rekaman
saat itu. Bodohnya saya. Meratapi dan menyesali nasib seperti itu. Saya lupa
bersyukur. Saya lupa bersyukur masih
memiliki orang-orang yang menyayangi saya. Saya seakan meniadakan keberadaan orang-orang yang penuh kasih di sekeliling
saya. Orang-orang terkasih yang tak hentinya memberikan doa, kata-kata yang
menguatkan, juga pelukan hangat mereka. Betapa
egoisnya saya waktu itu. Hanya terfokus pada rasa sakit yang saya rasa. Bukankah saat itu saya seharusnya masih bisa memetik bahagia?
Saya menyesali
dan menyalahkan semua yang ada. Keadaan, lingkungan, juga tubuh saya sendiri. He..he..Menyalahkan
tubuh? Bukankah seharusnya tubuh yang menyalahkan saya? Bukankah sakit yang
saya rasakan itu adalah bentuk dari jeritan tubuh saya? Kembali saya ke
masa-masa saya sebelum sakit. Saya terlalu sibuk memanjakan lidah saya. Tak
peduli dengan apa-apa yang akan tubuh terima. Saya sering jajan sembarangan. Makan
pedas yang berlebihan. Minum es tanpa bisa dilarang. Apalagi dengan rasa asam,
salah satu rasa yang takkan saya lewatkan. Saya sering melewatkan sarapan,
makan siang, juga makan malam. Biasanya, akan saya ganti dengan cemilan-cemilan
ringan yang saya suka, yang tak baik untuk kesehatan. Saya jarang minum air putih, lebih
banyak mengonsumsi minuman bersoda. Ketika
badan terasa sakit, saya lebih sering untuk tidak memedulikannya. Pernahkah
saya mendengar tubuh saya menjerit karena sebenarnya dia tak suka dengan apa
yang saya lakukan? Tak sekali pun. Dan Sang Maha Baik memang menghukum saya.
Saya tak menjaga tubuh saya dengan layak.
Saat itu, saya juga menuduh Sang Maha Baik tak mau mendengar
doa saya. Padahal, Sang Maha Baik telah memberikan jawaban atas doa-doa yang saya pinta. Hanya saja
saya tak melihatnya. Tak MAU melihat, lebih tepatnya. Saat itu, saya terpaku
pada satu pintu untuk penyembuhan. Seakan menampik satu pintu lagi yang
ditawarkan olehNya. Meski akhirnya, saya bersyukur yang sangat, saya belum terlambat untuk mau melihat
dan mengambil jalan dari pintu satu lagi yang ditawarkan oleh Sang Maha
Pengasih, dan Maha Penyayang.
Sekarang, saya bisa kembali menebar senyum, menguntai tawa, melepas
sedih, dan membangun harap. Saya sangat bersyukur dan bersyukur masih diberi waktu untuk menikmati hangatnya
matahari bersama dengan orang-orang terkasih.
***
Di luar, hujan mereda. Matahari bermurah hati mau memberikan sedikit cahayanya di ujung senja. Titik-titik air hujan yang tajam telah berubah menjadi serpihan-serpihan air yang lembut. Rasanya tak sedingin tadi. Lebih hangat. Kami, saya dan adik saya pulang dengan hati yang terasa lebih ringan. Hasil lab menunjukkan bahwa kondisi adik saya baik-baik saja. Tubuh adik saya hanya meminta beberapa hari untuk waktu istirahatnya. Alhamdulillah..
Don’t worry.
God is never blind to your tears
Never deaf to your prayers
And never silent to your pain
He sees
He hears
And he will deliver
(quote)
^_^
manis dan ringan. Ha ha ha
BalasHapusBang BS..iya, manis kaya orangnya..ha..ha..tunggu cersil yang kujanjikan,ya..*cieeee..tapi, entah kapan..:-D
BalasHapusini tulisannya Jul... ^_*
BalasHapusapakah kau ingat kepadaku?
Aug 6, '09 2:32 AM
Apakah kau ingat padaku??
saat kedua bibirmu ditarik
membentuk sebuah senyuman
ketika bahagia menyelimuti hatimu
Apakah kau ingat padaku??
saat air matamu menitik
karena duka menyelusup
mengganggu hatimu??
Sering aku bertanya
tanpa butuh jawaban..
‘Apakah kau ingat padaku??’
Mas/Mba Ano..saya ingat..he..he..meski namanya jadi Ano, saya ingat..selalu ingat..*lho?..:-D ;-)
BalasHapus